yang dipikulnya tiap hari
sambil menimbangku dia pun menyanyi :
Timang tinggi-tinggi
dapur tak berasap
bila besar nanti
jangan masuk lokap
Ibuku tidak mengenal buku dan sekolah
tiap pagi terbongkok-bongkok di lumpur sawah
menggaru betisnya yang dikerumuni lintah
Hatinya selalu teringat
suaminya yang mati melarat
Ibuku tangannya kasar berbelulang
mengangkat batu-bata bangunan
wajahnya dibedaki debu berterbangan.
Ibu tidak pernah mengenali supermarket
tinggal di bilik sempit
upah buruhnya sangat sedikit.
Ibuku tidak punya peti TV
tidak berpeluang pula menontonnya
tak pernah mengikuti Laporan Parlimen
atau ceramah bagaimana menambah jumlah penduduk
tidak pula tahu adanya forum kemiskinan
dengan resipi yang sangat menakjubkan.
Ibuku setiap hari berulang ke kilang
Bekerja dengan tekun hingga ke malam
mikroskop itu menusuk matanya dengan kejam
kaburlah mata ibu di selaputi logam.
Ibuku tidak tahu tentang hak asasi
apalagi tentang seni dan puisi
jika ditanya makna melabur
nama-nama saham yang menjanjikan makmur
atau tentang Dasar Pandang ke Timur
Ibu tersenyum menunjukkan mangkuk bubur
yang melimpah kanji beras hancur.
di negerimu kau menumpang
sesekali ku dengar ibu menyanyi
pantun tradisi caranya sendiri :
Siakap senohong
gelama ikan duri
bercakap bohong
tak boleh jadi menteri.
( Usman Awang, DBP 1987 )
No comments:
Post a Comment