yang kucium rambut lusuhmu
yang berderai air mataku, dingin subuh
menggigit kulit dan jantungku berdetap
ketika embun turun mencecah bumi
menghitung denyut waktu saat akhir nafasmu
membawa pergi apa yang kumiliki!
Ibunda
selamanya kudengar deburan ombak hidupmu
seadanya kutampung penderitaanmu, sedang kudratku
lemah untuk menahannya; doaku mungkin lewat terkabul
di mana pada alam luas ini suaraku sering tenggelam punca
betapa pilunya embun terakhir menyentakku
tiada lagi senyum di bibir lukamu
Ibunda
kalaulah mungkin aku berdosa
setelah saling kita bermaaf;
janganlah kau bawa lukaku bersamamu
aku telah belajar membaca wajah laut
mengoyak wajah pasir, menyibak suria
menggenggam angina menyusuri wajah malam
namun, maafkan aku demi cintamu.
Pulanglah bonda ke dalam kehidupan abadi
setelah datang dengan berani!
akan kukenang matamu dalam merenungku
mengungkapkan penyerahan hayat
perjalanan 74 begitu panjang pertarungan
suka duka adalah impian kau membangunkan mimpi
dan aku adalah benteng yang mendepani
kehidupanmu.
bagaikan batu pualam
onggokan pusaramu
memanggilku pulang
ke kampong laman
setelah lama dan jauh, musafir dan berkelana
pedih mataku berair mata
setabah dukaku menampung rasamu.
Ibunda
meski di sini kita berpisah
dan di tamanku belum selesai kutanam bunga
kau adalah segalanya bagiku
tenang dan tenanglah
dalam doaku kita pasti bertemu.
( Zaihasra, Dewan Sastra April 1988 )
No comments:
Post a Comment