Wednesday, October 22, 2014

Khutbah Wukuf 1435H (2)

Para hamba dan tetamu Allah, jamaah haji yang dirahmati,

Ibadah haji dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya, seperti shalat dan puasa, sebenarnya hanyalah jalan, bukan tujuan terakhir. Ayat Al-  Qur'an,  "tiadalah Kujadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadat", mengandung arti bahwa ibadat itu lebih merupakan jalan dari pada tujuan. "Ya'buduna" adalah kata kerja, maka ibadat  itu merupakan proses yang harus kita lakukan secara terus menerus sebagai jalan untuk mencapai tujuan hakiki dari pada ibadat itu, yang tiada lain adalah meraih ridha Allah, dan membentuk kepribadian berakhlakul karimah.

Maka, pada waktu kita mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mengandung arti pernyataan atau deklarasi kita untuk menebarkan salam kepada seluruh manusia, dan juga pernyataan atau deklarasi kita untuk menyatalaksanakan nilai-nilai shalat pada masa pasca shalat. Sajadah yang perlu kita gelar bukan sependek sajadah pada waktu shalat, tapi sajadah panjang, sepanjang jalan kehidupan. 

Begitu pula, seusai kita menunaikan ibadah haji nanti, pulang ke kampung halaman dengan menyandang gelar haji atau hajah,  tiadalah berarti kita telah sampai ke tujuan terakhir dan merasa ibadat kita sudah selesai. Itu hanyalah awal bagi kita untuk mengamalkan segala nilai dan makna ibadah haji yang kita tunaikan di Tanah Suci. Maka talbiyah yang kita kumandangkan tidak berakhir di tanah suci tapi berlanjut dalam kehidupan nyata, sambung menyambung dalam gerak kebudayaan Islam di nusantara. Kemabruran haji akan sangat ditentukan oleh apakah setiap kita mau dan mampu mengamalkan dan menebar  al-  birru, yaitu kebenaran, kebaikan,  kebajikan, terhadap diri sendiri dan sesama dalam hidup bermasyarakat nanti. Pribadi mabrur yang diliputi oleh al- birru antara lain ditandai oleh sikap cinta dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama. Cinta dan solidaritas yang tinggi terrefleksi pada  kesediaan untuk memberibahkan yang terbaik dari yang dimilikinya. Dalam Al- Qur'an Allah SWT menegaskan:

tiadalah engkau menerima kebaikan untuk menjadi mabrur
kecuali engkau memberi apa yang paling engkau cintai.

Para jamaah haji yang mabrur,

Menunaikan ibadah haji merupakan napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim as. Banyak dari manasik dan lokasi terkait ibadah haji berakar atau berhubungan dengan peristiwa yang dialami Ibrahim as dan keluarganya, sejak dari tawaf mengitari Ka`bah, sa'i antara Shafah dan Marwah, meminum air abadi zamzam, hingga melempar jumrah.  Lebih dari pada itu, ibadah haji juga berorientasi pada peneguhan tauhid sebagaimana yang telah dicontohkan Ibrahim as.  Ibrahim as, yang merupakan moyang dari para Rasul Allah penerima agama-agama samawi yaitu Musa as, Isa as, dan Muhammad SAW, dikenal sebagai "Bapak Tauhid".

Hal demikian adalah karena Ibrahim as pernah terlibat dalam pencarian tuhan yang benar. Maka ketika ia lihat bulan, kemudian matahari yang bersinar di angkasa raya, ia yakini sebagai tuhan. Namun, ketika keduanya terbenam, dia nyatakan tak mau bertuhan kepada yang hilang. Akhirnya Ibrahim as menemukan Tuhan Sejati, Allah SWT, Pencipta manusia dan alam semesta. Ibrahim as kemudian menghancurkan tuhan-tuhan buatan  dan semu, baik dalam bentuk berhala maupun ujian setan. Komitmen tauhidi Ibrahim as mendorongnya untuk menaati perintah Allah tanpa pamrih. Dengan sikap  sami'na wa atho'na (taat patuh tanpa reserve kepada Tuhan) dan mukhlisina lahud din (ikhlas tanpa pamrih dalam beribadat kepadaNya) Ibrahim AS rela merealisasikan perintah Allah lewat mimpi untuk menyembelih putra tunggal tercintanya, Ismail AS, yang sedang beranjak remaja, walaupun itu hanyalah ujian Allah, karena akhirnya digantikan dengan seekor domba. Ibrahim as dinukilkan oleh Al- Qur'an sebagai sosok Muslim pertama nan hanif (hanifan Musliman. . . wa ana awwalul Muslimin).

Manasik haji yang kita tunaikan  --wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dengan melempar jumrah--  merupakan napak tilas perjalanan tauhidi Ibrahim as tersebut. Maka pembelajaran kedua dari ibadah haji yang tengah kita tunaikan sekarang ini adalah agar kita menjadi seorang Muslim dengan komitmen tauhidi yang kuat dan kehanifan yang mantap. Sebagai Muslim kita dituntut untuk senantiasa berpegang teguh kepada nilai tauhid, yaitu hanya menuhankan Allah SWT. Maka oleh karena itu, kita dituntut mampu melenyapkan tuhan-tuhan di dalam diri dan di sekitar kita, baik dalam bentuk hawa nafsu dan godaan pesona duniawi.

Menjadi Muslim hanif mengandung arti berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah (al-  haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin, kebenaran itu dari Tuhanmu maka jangan termasuk orang-orang peragu). Sikap hanif ini menuntut kita untuk tidak sekali-kali berkompromi dengan kebatilan dalam berbagai bentuknya. Itulah yang telah ditunjukkan oleh Ibrahim as, dan itu pula lah yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Sebagai penerus dan pewaris Ibrahim AS, Muhammad SAW mengajarkan kita untuk mengamalkan  tradisi Ibrahimy dengan menegakkan komitmen ketauhidan dan kehanifan. Maka, menarik untuk didalami, shalat, yang merupakan tiang agama, diawali dengan doa iftitah yang menukilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan Ibrahim AS (dalam doa  wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifan  Musliman. . . wa ana minal Muslimin), dan diakhiri dalam doa tahiyat dengan shalawat atas Ibrahim AS (Allahumma shalli 'ala Ibrahima. . . Allahumma  barik 'ala Ibrahima). Hal ini menunjukkan seolah-olah shalat diapit oleh dua referensi Ibrahimy yaitu komitmen ketauhidan dan kehanifan.

Menjadi Muslim hanif adalah pesan penting ibadah haji dan unsur dari kemabruran haji. Pribadi mabrur yang dicita-citakan seseorang yang menunaikan ibadah haji haruslah berpangkal pada adanya sikap hanif, yaitu tunduk dan patuh kepada kebenaran Ilahi dan mampu mengejawantahkannya dalam kehidupan nyata. 

Pada era moderen dan global dewasa ini, setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan.

Rasulullah SAW bersabda: 

"Sesungguhnya agama yang disukai di sisi Allah
adalah beragama dengan penuh kehanifan yang berlapang dada".

No comments:

Post a Comment