Para hamba dan tetamu Allah, jamaah haji yang dirahmati,
Ibadah haji dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya, seperti shalat dan puasa,
sebenarnya hanyalah jalan, bukan tujuan terakhir. Ayat Al- Qur'an,
"tiadalah Kujadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadat",
mengandung arti bahwa ibadat itu lebih merupakan jalan dari pada tujuan.
"Ya'buduna" adalah kata kerja, maka ibadat itu merupakan proses yang harus kita lakukan
secara terus menerus sebagai jalan untuk mencapai tujuan hakiki dari pada
ibadat itu, yang tiada lain adalah meraih ridha Allah, dan membentuk
kepribadian berakhlakul karimah.
Maka, pada waktu kita mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam sambil
menoleh ke kanan dan ke kiri mengandung arti pernyataan atau deklarasi kita
untuk menebarkan salam kepada seluruh manusia, dan juga pernyataan atau
deklarasi kita untuk menyatalaksanakan nilai-nilai shalat pada masa pasca shalat.
Sajadah yang perlu kita gelar bukan sependek sajadah pada waktu shalat, tapi
sajadah panjang, sepanjang jalan kehidupan.
Begitu pula, seusai kita menunaikan ibadah haji nanti, pulang ke kampung
halaman dengan menyandang gelar haji atau hajah, tiadalah berarti kita telah sampai ke tujuan terakhir
dan merasa ibadat kita sudah selesai. Itu hanyalah awal bagi kita untuk mengamalkan
segala nilai dan makna ibadah haji yang kita tunaikan di Tanah Suci. Maka talbiyah
yang kita kumandangkan tidak berakhir di tanah suci tapi berlanjut dalam kehidupan
nyata, sambung menyambung dalam gerak kebudayaan Islam di nusantara. Kemabruran
haji akan sangat ditentukan oleh apakah setiap kita mau dan mampu mengamalkan
dan menebar al- birru, yaitu kebenaran, kebaikan, kebajikan, terhadap diri sendiri dan sesama
dalam hidup bermasyarakat nanti. Pribadi mabrur yang diliputi oleh al- birru
antara lain ditandai oleh sikap cinta dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama.
Cinta dan solidaritas yang tinggi terrefleksi pada kesediaan untuk memberibahkan yang terbaik dari yang dimilikinya. Dalam Al- Qur'an Allah SWT
menegaskan:
tiadalah engkau menerima kebaikan untuk
menjadi mabrur
kecuali engkau memberi apa yang paling engkau
cintai.
Para jamaah haji yang mabrur,
Menunaikan ibadah haji merupakan napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi
Ibrahim as. Banyak dari manasik dan lokasi terkait ibadah haji berakar atau
berhubungan dengan peristiwa yang dialami Ibrahim as dan keluarganya, sejak
dari tawaf mengitari Ka`bah, sa'i antara Shafah dan Marwah, meminum air abadi
zamzam, hingga melempar jumrah. Lebih
dari pada itu, ibadah haji juga berorientasi pada peneguhan
tauhid sebagaimana yang telah dicontohkan Ibrahim as. Ibrahim as, yang merupakan moyang dari para
Rasul Allah penerima agama-agama samawi yaitu Musa as, Isa as, dan Muhammad
SAW, dikenal sebagai "Bapak Tauhid".
Hal demikian adalah karena Ibrahim as pernah terlibat dalam pencarian tuhan
yang benar. Maka ketika ia lihat bulan, kemudian matahari yang bersinar di
angkasa raya, ia yakini sebagai tuhan. Namun, ketika keduanya terbenam, dia
nyatakan tak mau bertuhan kepada yang hilang. Akhirnya Ibrahim as menemukan Tuhan
Sejati, Allah SWT, Pencipta manusia dan alam semesta. Ibrahim as kemudian
menghancurkan tuhan-tuhan buatan dan
semu, baik dalam bentuk berhala maupun ujian setan. Komitmen tauhidi Ibrahim as
mendorongnya untuk menaati perintah Allah tanpa pamrih. Dengan sikap sami'na
wa atho'na (taat patuh tanpa reserve kepada Tuhan) dan mukhlisina lahud din (ikhlas tanpa pamrih dalam beribadat kepadaNya)
Ibrahim AS rela merealisasikan perintah Allah lewat mimpi untuk menyembelih
putra tunggal tercintanya, Ismail AS, yang sedang beranjak remaja, walaupun itu
hanyalah ujian Allah, karena akhirnya digantikan dengan seekor domba. Ibrahim as
dinukilkan oleh Al- Qur'an sebagai sosok Muslim pertama nan hanif (hanifan
Musliman. . . wa ana awwalul Muslimin).
Manasik haji yang kita tunaikan
--wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dengan melempar
jumrah-- merupakan napak tilas
perjalanan tauhidi Ibrahim as tersebut. Maka pembelajaran
kedua dari ibadah haji yang tengah kita tunaikan sekarang ini adalah
agar kita menjadi seorang Muslim dengan komitmen tauhidi yang kuat dan kehanifan
yang mantap. Sebagai Muslim kita dituntut untuk senantiasa berpegang teguh
kepada nilai tauhid, yaitu hanya menuhankan Allah SWT. Maka oleh karena itu, kita
dituntut mampu melenyapkan tuhan-tuhan di dalam diri dan di sekitar kita, baik dalam
bentuk hawa nafsu dan godaan pesona duniawi.
Menjadi Muslim hanif mengandung arti berpegang teguh kepada nilai-nilai
kebenaran yang datang dari Allah (al-
haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin, kebenaran itu dari
Tuhanmu maka jangan termasuk orang-orang peragu). Sikap hanif ini menuntut kita
untuk tidak sekali-kali berkompromi dengan kebatilan dalam berbagai bentuknya.
Itulah yang telah ditunjukkan oleh Ibrahim as, dan itu pula lah yang dianjurkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Sebagai penerus dan pewaris Ibrahim AS, Muhammad SAW mengajarkan kita untuk
mengamalkan tradisi Ibrahimy dengan menegakkan
komitmen ketauhidan dan kehanifan. Maka, menarik untuk didalami, shalat, yang
merupakan tiang agama, diawali dengan doa iftitah yang menukilkan komitmen
ketauhidan dan kehanifan Ibrahim AS (dalam doa
wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardha hanifan Musliman. . . wa ana minal Muslimin), dan diakhiri
dalam doa tahiyat dengan shalawat atas Ibrahim AS (Allahumma shalli 'ala Ibrahima.
. . Allahumma barik 'ala Ibrahima). Hal
ini menunjukkan seolah-olah shalat diapit oleh dua referensi Ibrahimy yaitu
komitmen ketauhidan dan kehanifan.
Menjadi Muslim hanif adalah pesan penting ibadah haji dan unsur dari
kemabruran haji. Pribadi mabrur yang dicita-citakan seseorang yang menunaikan
ibadah haji haruslah berpangkal pada adanya sikap hanif, yaitu tunduk dan patuh
kepada kebenaran Ilahi dan mampu mengejawantahkannya dalam kehidupan
nyata.
Pada era moderen dan global dewasa ini, setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan
komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama
dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak
mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan
dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya agama yang disukai di sisi Allah
adalah beragama dengan penuh kehanifan yang berlapang dada".